Tasawuf Rasional Prof Sirajuddin Zar


H. Sutan Zaili
H. Sutan Zaili

Tasawuf, ilmu mengetahui cara menyucikan jiwa/membersihkan akhlak untuk memporoleh kebahagian hakiki. Awalnya tasawuf merupakan gerakan zuhud (menjauhi duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan mistisme Islam. Tarekat berasal dari thariqah (bahasa Arab) berarti jalan, keadaan, aliran, garis, atas sesuatu. Secara istilah, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi—dapat digambarkan sebagai jalan berpangkal dari syariat. Jalan utama disebut al-syarik/anak jalan disebut al-thariq. Dalam tasawuf, tarekat tidak saja ditujukan pada aturan/cara tertentu yang digunakan seorang syekh/guru tarekat/kelompok yang menjadi pengikut syekh, yang meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya, yang dari semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.

DI ANTARA mata kuliah yang diikuti Cucu Magek Dirih pada Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol, konsentrasi pendidikan Islam adalah: sejarah pemikiran dalam Islam–termasuk tasawuf (dengan pembimbing Prof Dr Sirajuddin MA); sejarah peradaban Islam (Prof Dr Maidir Harun MA); filsafat Ilmu (Dr Zaim Rais MA); dan bahasa Indonesia (Dr Gusdi Sastra M. Hum). Karena menggunakan metode, antara lain, seminar makalah, kelas di mana Cucu Magek Dirih tergabung (hanya 17 orang mahasiswa), setiap mata kuliah/dosen meminta semua mahasiswa menulis makalah dengan tema/topik ditentukan. Cucu Magek Dirih, dengan usianya yang sudah 58 tahun/daya ingat sudah mengendur, masih menikmati tugas membuat makalah seminar. Konfidensi menikmati membuat makalah seminar—bukan buat menyombongkan diri, terutama bagi kesungguhan ingin mengetahui/mengerti/menguasai tema/topik, karena memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku hampir 6.000 judul, dan kebiasaannya sejak sekitar tujuh tahun terakhir ini juga membaca buku di library online—layaknya membaca buku secara manual.

Pada Cucu Magek Dirih, karena ketahudiriannya—orang lain lebih cerdas/lebih pintar/lebih baik dari dirinya, ia harus melipatgandakan usaha/kesungguh-sungguhannya untuk harus belajar lebih keras/membaca buku lebih banyak/mengikuti perkembangan lebih intensif/membiasakan diri bertanya dan mempertanyakan—semua yang disebutnya sebagai membangun suatu tradisi ilmiah—dari orang lain. Selain mengikuti perkembangan melalui radio/TV, membaca koran/majalah, dan buku di perpustakaan IAIN Imam Bonjol. Setelah jadi mahasiswa di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah Bahasa (BA-Faktar) IAIN Imam Bonjol, dan karena ia berkawan baik dengan para pegawai kebersihan, Cucu Magek Dirih yang sering tidur/bermalam di kampus sampai seringkali tidur di perpustakaan—karena kesempatan membaca baginya di malam hari. Setelah jadi pegawai honorer di Lembaga Bahasa IAIN, semua pendapatannya yang kecil dan honor tulisan yang dimuat di koran untuk membeli buku. Semua biaya buat kos dan hidup di Padang ditanggung adiknya, (Alm) Zainul Asman, yang saat itu karyawan PT Semen Padang.

Lalu, setelah jadi wartawan (pada Harian Pagi Kompas Jakarta), Cucu Magek Dirih menyisihkan sebagian pendapatannya yang relatif cukup memadai untuk membeli buku—apalagi bilamana ia membeli buku di toko buku Gramedia mendapat diskon 20 persen untuk buku-buku terbitan Gramedia/KKG dan diskon 10 persen untuk buku-buku non-Gramedia. Saat bekerja di Kelompok Usaha Bakrie/saat bertugas di Denpasar Cucu Magek Dirih jadi anggota World Book Club. Setelah anak perempuannya, Putri Soonia Zasdessia, lulusan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung, diterima dan bekerja di KKG, ia kembali menikmati membeli buku di toko buku Gramedia dengan fasilitas diskon demikian (menggunakan kartu karyawan anaknya). Hanya, bagaimana pun, berlajar otodidak mempunyai kelemahan—seperti dikatakan Prof. Sirajuddin, dan sebaiknya belajar tetap terarah dengan difasilitasi pembimbing sesuai disiplin ilmu. Pandangan itu menjadi dasar menguatkan keputusan Cucu Magek Dirih mengikuti pascasarjana—walaupun usia sudah cukup lanjut. Hal itu pula yang terbukti setelah ia jadi mahasiswa Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang.

SUNGGUH amat menarik perhatian Cucu Magek Dirih untuk mendalami filsafat, pemikiran, tasawuf, dan peradaban Islam. Ternyata, untuk tema/topik yang relatif sudah cukup diketahuinya, lebih banyak yang belum diketahui/dimengertinya dengan baik dan benar. Katakan dalam keberagamaan (religiusitas) Islam Indonesia yang dalam pemahaman/pencermatan Cucu Magek Dirih selalu jadi pertanyaan—kenapa Islam tidak cukup menjadi dasar/faktor dalam berkemajuan dan berperadaban di Indonesia. Bahkan, terasa menjadi sebuah paradoks yang absurd. Kenapa Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia—tak mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju dan memimpin dunia Islam (negara-negara lain yang berpenduduk muslim)? Jawaban yang kemudian ditemukan Cucu Magek Dirih dalam kuliah sejarah peradaban Islam dengan Prof. Maidir Harun, bahwa sejak Daulat Abbasiyah di Baghdad dihancurkan Hulago Khan (1258) dan sisa daulat Muawiyah terusir dari Abdalus (Semenanjung Iberia atau Spanyol/Portugal, 1492), peradaban Islam decline—Islam/kaum muslimin di Indonesia tertinggal! (baca sambungan cmd selanjutnya – bagian 2)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *